"selamat datang di Sastrawan Indonesia"

Melanjutkan kehidupan itu hal yang mudah, apa yang musti ditinggalkan dilupakan itulah yang susah.

Rabu, 17 Maret 2010


NANO HOME
► Selamat datang di situs gudang pengalaman ENSIKONESIA (ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA) ► Thank you for visiting the experience site ► NANTIKAN TAMPILAN BARU TOKOHINDONESIA.COM ► Biografi Jurnalistik ► The Excellent Biography ► Database Tokoh Indonesia terlengkap yang tengah dikembangkan menjadi Ensiklopedi Tokoh Indonesia online ► Anda seorang tokoh? Sudahkah Anda punya "rumah pribadi" di Plasa Web Tokoh Indonesia? ► Silakan kirimkan biografi Anda ke Redaksi Tokoh Indonesia ► Dapatkan Majalah Tokoh Indonesia di Toko Buku Gramedia, Gunung Agung, Gunung Mulia, Drug Store Hotel-Office & Mall dan Agen-Agen atau Bagian Sirkulasi Rp.14.000 Luar Jabotabek Rp.15.000 atau Berlangganan Rp.160.0000 (12 Edisi) ► Segenap Crew Tokoh Indonesia Mengucapkan Selamat Ulang Tahun Kepada Para Tokoh Indonesia yang berulang tahun hari ini. Semoga Selalu Sukses dan Panjang Umur ►
Norbertus Riantiarno (Nano)

Pendiri Teater Koma

Tokoh Indonesia 11/12/2008: Pendiri Teater Koma (1 Maret 1977) Norbertus Riantiarno yang akrab dipanggil Nano lahir di Cirebon, 6 Juni 1949. Suami dari aktris Ratna Riantiarno ini seorang aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia. Nano, terpilih sebagai penerima Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Riantiarno terpilih karena kontribusinya pada dunia teater di Indonesia. Dewan juri FTI 2008 yang diketuai Jacob Soemardjo dengan anggota Radhar Panca Dahana, Jajang C Noer, Nirwan Arsuka, dan Kenedi Nurhan, menilai Nano sangat konsisten berkarya dalam dunia teater. Sehingga kononsistensinya patut dihargai. Penganugerahan itu dilakukan dalam rangka peringatan hari jadi ke-4 FTI pada 27 Desember 2008.

Menurut anggota dewan juri Anugerah FTI 2008, Radhar Panca Dahana, di Jakarta, Rabu 10/12/2008, sejak berdiri 1977, Teater Koma selalu pentas setiap tahun dan penonton pun selalu memenuhi gedung pertunjukan, bahkan pernah pentas selama 40 hari.

Menurut Radhar, lamanya waktu pentas Teater Koma, itu sesuatu yang fenomenal untuk dunia teater. ”Riantiarno memberi inspirasi pada pekerja teater di daerah untuk menggunakan musik dan tari dalam pementasannya. Teater di daerah pun menirukan dengan gaya-gaya akrobatik dan sukses. Inspirasi semacam ini memperkaya kehidupan teater Indonesia,” kata Radhar.

Di kota kelahirannya, Cirebon anak kelima dari tujuh bersaudara ini menamatkan pendidikan SD (1960), SMP (1963) dan SMA (1967). Ketika kanak-kanak, ia hobi menonton teater rakyat, wayang, reog, dan masres (ketoprak), genjring dogdog -- semacam sirkus yang menggunakan tarian. Saking seringnya menonton sampai pagi, suatu ketika Nano dikurung orang tuanya di gudang. Namun ketika dikurung itu, ia pun lantas menulis cerpen dan komik.

Saat di SMA, orangtuanya heran, ketika Nano sudah bicara tentang pilihan karirnya menjadi orang teater. Koq teater, untuk apa? Sebab di keluarga itu tidak ada latar belakang teater. Ayahnya, M. Soemardi, pegawai kereta api.

Sejak SMA, Nano sudah mulai mengenal seni pertunjukan, bergabung dengan Teater Tanah Air yang bermarkas di RRI Cirebon. Suasana berkesenian waktu itu sangat kondusif. Nano turut mendengarkan jika Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi membaca puisi.

Kemudian Nano melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta. Di luar jam kuliah, Nano bersama Boyke Roring dan Slamet Rahardjo, mengikuti acting course di bawah bimbingan Teguh Karya. Teguh mengajaknya ke Hotel Indonesia, dimana Teguh menjadi stage manager. Akhirnya Nano bersama Teguh mendirikan Teater Populer, 1968.

Lalu , kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Dia pun mengecap pendidikan International Writing Program, University of Iowa, Iowa, Amerika Serikat, 1978.

Pengalaman yang dia peroleh dari Teater Populer, mendorong Nano mendirikan Teater Koma, 1975. Saat itu usianya 26 tahun. Ia pun berkeliling Indonesia selama enam bulan untuk mengenal kehidupan teater rakyat di pelbagai daerah. Suatu ketika, saat hendak menuju Ujungpandang, perahu yang ditumpanginya dihantam gelombang. Namun, Nano selamat.

Nano telah aktif dalam dunia teater sejak 1965 di Cirebon. Dia pun menjadi pemain drama, pemain film-tv, penulis dan asisten sutradara panggung dan film (1968-1977). Pada tahun 1968, Nano sudah ikut mendirikan Teater Populer (bersama Teguh Karya) di Jakarta.

Lalu pada 1 Maret 1977, Nano mendirikan Teater Koma dan sekaligus memimpinnya sampai sekarang (2008). Teater Koma salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia. Pusat Data Tokoh Indonesia mencatat sampai 2008, Teater Koma sudah menggelar lebih 111 produksi panggung dan televisi. Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain: Rumah Kertas; Maaf, Maaf, Maaf; Jakarta Jakarta (mendapat Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI 1978); Kontes 1980; Bom Waktu; Suksesi, Opera Kecoa; Opera Julini, Opera Primadona, Sampek Engtay; Banci Gugat; Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Rumah Sakit Jiwa, Opera Ular Putih, Semat Gugat, Cinta yang Serakah; Opera Sembelit; Samson Delilah, Republik Bagong dan Tanda Cinta.

Selain drama-drama karya Nano sendiri, Teater Koma juga telah memanggungkan berbagai karya penulis kelas dunia, antara lain; Woyzeck karya Georg Buchner, The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, The Good Person of Shechzwan karya Bertolt Brecht, The Comedy of Errors karya William Shakespeare, Romeo Juliet karya William Shakespeare, Women in Parliament karya Aristophanes, Animal Farm karya George Orwell, The Crucible karya Arthur Miller, Orang Kaya Baru dan Tartuffe atau Republik Togog karya Moliere dan
The Marriage of Figaro karya Beaumarchaise.

Selain itu, Nano juga berkarya dalam dunia film, antara lain: - Wajah Seorang Lelaki (1971) - Cinta Pertama (1973) - Ranjang Pengantin (1973) - Kawin Lari (1974)- Jakarta-Jakarta (1977)
- Skandal (1978) - Puber (1978)- Kasus/Kegagalan Cinta (1978) - Dr. Sii Pertiwi Kembali Ke Desa (1979)- Jangan Ambil Nyawaku (1981) - Dalam Kabut dan Badai (1981) - Acuh-Acuh Sayang (1981) - Amalia SH (1981)- Halimun (1982) - Ponirah Terpidana (1983) - Gadis Hitam Putih (1985) - Sama juga Bohong (1985) - Pacar Pertama (1986) - Dorce Ketemu Jodoh (1990). Film layar lebar perdana karyanya, Cemeng 2005 / The Last Primadona (1995) yang diproduksi Dewan Film Nasional Indonesia.

Selain aktif di dunia teater, Nano juga pernah menekuni dunia jurnalistik. Ia ikut mendirikan dan bertugas sebagai Redaktur majalah Zaman, 1979-1985; Juga ikut mendirikan majalah Matra dan menjabat sebagai Wapemred (1985–1988) dan Pemimpin Redaksi (1988 sampai Maret 2001). Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan dan berkiprah sepenuhnya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.

Nano juga aktif sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, 1985-1990 dan Anggota Dewan Kesenian Jakarta, 1984-sekarang.


Nano juga seorang penulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, Jakarta Jakarta, meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya, Karina meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.

Ia juga menulis novel Cermin Merah, Cermin Bening dan Cermin Cinta, diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. Ranjang Bayi dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman Primadona, diterbitkan Gramedia 2006.

Dalam mengembangkan karyanya, pada tahun 1975, Nano berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. Selain kegiatan dalam negeri, pada 1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan. Lalu pada 1987, ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Tahun berikutnya diundang ke New Order Seminar, 1988, di Australia juga.

Nano juga pernah menyampaikan makalah Teater Modern Indonesia di Universitas Cornell, Ithaca, AS, 1990. Juga berbicara mengenai Teater Modern Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth, 1992. Dan di tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.

Nano menyutradarai Sampek Engtay di Singapura, 2001, dimana pekerja dan para pemainnya dari Singapura. Dia juga salah satu pendiri Asia Art Net, AAN, 1998, sebuah organisasi seni pertunjukan yang beranggotakan sutradara-sutradara Asia. Menjabat sebagai artistic founder dan evaluator dari Lembaga Pendidikan Seni Pertunjukan PPAS, Practice Performing Arts School di Singapura.

Ia juga pernah berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pernah pula mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Tiongkok, 1986-1999.

Selain aktif di Dewan Kesenian Jakarta, Nano juga menjadi Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Juga anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004. Juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.

Dia juga menulis dan menyutradarai 4 pentas multi media kolosal, yaitu: Rama-Shinta 1994, Opera Mahabharata 1996, Opera Anoman 1998 dan Bende Ancol 1999.

Teater Koma juga dikenal dengan kritik-kritik sosialnya. bahkan beberapa karya Nano bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta. Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar pula karena alasan yang serupa. Tapi Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.

Atas berbagai aktivitas dan karyanya, Nano sudah menerima sejumlah penghargaan. Antara lain: - Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1972) - Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1973) - Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1974) - Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1975) - Penulis Skenario Terpuji dari Forum Film Bandung atas skenario sinetron Kupu-Kupu Ungu - Piala Citra untuk skenario terbaik pada FFI Ujung Pandang melalui film Jakarta-Jakarta (1978) - Hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen P&K (1978) - Piala Vidya untuk sinetron Karina pada Festival Sinetron Indonesia 1987 - Hadiah Seni, Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K atas nama Pemerintah RI, 1993 - Pemenang Lomba Naskah Drama DKJ (1997) - Penghargaan Sastra Indonesia 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa; sekaligus meraih SEA Write Award, dari Raja Thailand untuk karyanya Semar Gugat - Piagam Penghargaan dari Departemen Pariwisata dan Seni Indonesia, 1999 - Anugerah Teater Federasi Teater Indonesia atau FTI 2008.

Selain itu, dua novel pria semampai ini, Ranjang Bayi dan Percintaan Senja, meraih hadiah Sayembara Novelet Majalah Femina dan Sayembara Novel Majalah Kartini. Karya pentasnya Sampek Engtay, 2004, masuk MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama. ►ti/tsl


Referensi:

- http://www.tamanismailmarzuki.com

Jumat, 19 Februari 2010

A.A. Navis

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan tapi jika dikasih memilih ia akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

Kehidupan Pribadi

Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

Sebelum dikebumikan, sejumlah tokoh, budayawan, seniman, pejabat, akademikus, dan masyarakat umum melayat ke rumah duka di Jalan Bengkuang Nomor 5, Padang. Di antaranya; Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah A Syafii Maarif, Gubernur Sumbar Zainal Bakar, mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, dan mantan Gubernur Sumbar Hasan Basri Durin, serta penyair Rusli Marzuki Saria.

Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal, Robohnya Surau Kami, terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah, (1955). Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

Ia seorang seniman yang perspektif pemikirannya jauh ke depan. Karyanya Robohnya Surau Kami, juga mencerminkan perspektif pemikiran ini. Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Ia memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri.

Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Ia menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.

Buah karya

Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Ia telah menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya, dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.

Beberapa karyanya yang amat terkenal adalah:

  • Surau Kami (1955)
  • Bianglala (1963)
  • Hujan Panas (1964)
  • Kemarau (1967)
  • Saraswati
  • Si Gadis dalam Sunyi (1970)
  • Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)
  • Di Lintasan Mendung (1983)
  • Dialektika Minangkabau (editor, 1983)
  • Alam Terkembang Jadi Guru (1984)
  • Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)
  • Cerita Rakyat Sumbar (1994)
  • Jodoh (1998)

Sebagai seorang penulis, ia tak pernah merasa tua. Pada usia gaek ia masih saja menulis. Buku terakhirnya, berjudul Jodoh, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Jodoh berisi sepuluh buah cerpen yang ditulisnya sendiri, yakni Jodoh (cerpen pemenang pertama sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldemroep, 1975), Cerita 3 Malam, Kisah Seorang Hero, Cina Buta, Perebutan, Kawin (cerpen pemenang majalah Femina, 1979), Kisah Seorang Pengantin, Maria, Nora, dan Ibu. Ada yang ditulis tahun 1990-an, dan ada yang ditulis tahun 1950-an.

Padahal menulis bukanlah pekerjaan mudah, tapi memerlukan energi pemikiran serius dan santai. "Tidak semua gagasan dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen," katanya dalam suatu diskusi di Jakarta.

Kiat menulis itu, menurutnya, adalah aktivitas menulis itu terus dilakukan, karena menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan. Ia sendiri memang terus menulis, sepanjang hidup, sampai tua. Mengapa? "Soalnya, senjata saya hanya menulis," katanya. Baginya, menulis adalah salah satu alat dalam kehidupannya. "Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya. Jadi waktu ada mood menulis novel, menulis novel. Ada mood menulis cerpen, ya menulis cerpen," katanya seperti dikutip Kompas, Minggu, 7 Desember 1997.

Dalam setiap tulisan, menurutnya, permasalahan yang dijadikan topik pembahasan harus diketengahkan dengan bahasa menarik dan pemilihan kata selektif, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya. Selain itu, persoalan yang tidak kalah pentingnya bagi seorang penulis adalah bahwa penulis dan pembaca memiliki pengetahuan yang tidak berbeda. Jadi pembaca atau calon pembaca yang menjadi sasaran penulis, bukan kelompok orang yang bodoh.

Pandangan-pandangan A.A. Navis

Ia menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api; lewat saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Ia sendiri mengaku menulis dengan satu visi. Ia bukan mencari ketenaran.

Dalam konteks ini, ia amat merisaukan pendidikan nasional saat ini. Dari SD sampai perguruan tinggi, orang hanya boleh menerima, tidak diajarkan mengemukakan pikiran. Anak-anak tidak diajarkan pandai menulis oleh karena menulis itu membuka pikiran. Anak-anak tidak diajarkan membaca karena membaca itu memberikan anak-anak perbandingan-perbandingan. Di perguruan tinggi orang tidak pandai membaca, orang tidak pandai menulis, jadi terjadi pembodohan terhadap generasi-generasi akibat dari kekuasaan.

Jadi, menurutnya, model pendidikan sastra atau mengarang di Indonesia sekarang merupakan strategi atau pembodohan, agar orang tidak kritis. Maka, ia berharap, strategi pembodohan ini harus dilawan, harus diperbaiki. "Tapi saya pikir itu kebodohan. Orang Indonesia tidak punya strategi. Strategi ekonomi Indonesia itu apa? Strategi politik orang Indonesia itu apa? Strategi pendidikan orang Indonesia itu apa? Strategi kebudayaan orang Indonesia itu apa? Mau dijadikan apa bangsa kita? Kita tidak punya strategi. Oleh karena itu kita ajak mereka supaya tidak bodoh lagi," katanya.

Maka, andai ia berkesempatan jadi menteri, ia akan memfungsikan sastra. "Sekarang sastra itu fungsinya apa?" tanyanya lirih. Pelajaran sastra adalah pelajaran orang berpikir kritis. Orang berpikir kritis dan orang memahami konsep-konsep hidup. Kita baca, karya mana saja yang baik, itu berarti menyuruh orang berpikir berbuat betul. Lalu karya-karya itu konsepnya yang jahat lawan yang buruk. Dalam karya sastra bisa terjadi yang jahat itu yang dimenangkan, tapi bukan artinya sastra memuja yang jahat. Ia melihat, perkembangan sastra di Indonesia sedang macet. Banyak karya-karya sastra di Indonesia menceritakan hal-hal orang-orang munafik. Diajarkan itu ke anak-anak tentang orang munafik di tengah masyarakat kita yang banyak munafik. Anak-anak kan jadi tajam. Oleh karena itu pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik, umpamanya.

Hal ini tak terlepas dari mental korup para elit bangsa ini. Maka andai ia diberi pilihan alat kekuasaan, atau menulis dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Untuk apa? Untuk menyikat semua koruptor. Walaupun ia sadar bahwa mungkin justeru ia yang orang pertama kali ditembak. Sebab, "semua orang tidak suka ada orang yang menyikat koruptor," katanya seperti pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.

Perihal orang Minang, dirinya sendiri, keterlaluan kalau ada yang mengatakan orang Minang itu pelit. Yang benar, penuh perhitungan. Sangat tak tepat mengatakan orang Minang itu licik. Yang benar galia (galir), ibarat pepatah "tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua" (terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar). Itulah A.A. Navis "Sang Kepala Pencemooh".

Kamis, 18 Februari 2010

Y.B Mangunwijaya

Y. B. Mangunwijaya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Mangun.jpg
Lahir 6 Mei 1929
Ambarawa, Kabupaten Semarang
Meninggal 10 Februari 1999
Jakarta
Pekerjaan rohaniawan, budayawan, pengajar, arsitek, penulis

Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.

Romo Mangun, julukan populernya, dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Ia banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.

Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Aga Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta.

Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.

Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto

Buku dan tulisan

  • Balada Becak, novel, 1985
  • Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
  • Burung-Burung Rantau, novel, 1992
  • Burung-Burung Manyar, novel, 1981
  • Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
  • Durga Umayi, novel, 1985
  • Esei-esei orang Republik, 1987
  • Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
  • Gereja Diaspora, 1999
  • Gerundelan Orang Republik, 1995
  • Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
  • Impian Dari Yogyakarta, 2003
  • Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
  • Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
  • Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
  • Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
  • Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
  • Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
  • Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
  • Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
  • Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
  • Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
  • Politik Hati Nurani
  • Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
  • Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern
  • Ragawidya, 1986
  • Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya)
  • Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel Trilogi, 1983-1987
  • Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000
  • Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
  • Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
  • Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
  • Spiritualitas Baru
  • Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
  • Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
  • Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988

Minggu, 14 Februari 2010


W. S. Rendra



Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra)
, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Rendra sebagai sastrawan

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.

Jumat, 12 Februari 2010

Ahmad Tohari

Ahmad TohariNama Ahmad Tohari sebagai seorang sastrawan sudah lama dikenal. Kreativitas dan produktivitasnya dalam berkarya sungguh layak dikagumi. Puluhan novel, ratusan cerpen, dan berbagai tulisan genre nonfiksi sudah lahir dari tangannya. Sosok Ahmad Tohari sesungguhnya tak hanya menarik dibicarakan berdasarkan karya-karyanya, tetapi juga kesantunan dan kesederhanaan gaya hidupnya. Ia dikenal sangat alergi terhadap simbol-simbol feodalisme dan kapitalisme yang konon sudah demikian kuat membelit sendi-sendi kehidupan bangsa. Sungguh beruntung saya bersama beberapa pengurus Agupena Jawa Tengah yang lain bisa sedikit ngobrol dengan novelis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Jentera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari di sela-sela acara menjelang seminar nasional yang digelar di LPMP Semarang pada hari Kamis, 25 Juni 2009, itu.

“Saya sangat marah ketika pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang saja. Sebagian kemarahan saya tercermin dalam novel Blantik itu,” katanya. Lebih lanjut, sastrawan yang sering disapa dengan “Ramane Srintil” itu mempertanyakan tentang keadiluhungan budaya Jawa yang gencar digembar-gemborkan itu.

“Adiluhung yang mana? Bisakah itu disebut adilihung kalau dibangun berdasarkan nilai-nilai feodalisme yang justru mematikan hak rakyat kecil dalam memperjuangkan eksistensi hidupnya!” ungkapnya dengan nada getir. Dalam masyarakat Jawa, katanya, dikenal strata berlapis tujuh yang menunjukkan status sosial seseorang. Hal itu terlihat dari undha-usuking bahasa, mulai dari sapaan “Sampeyan Dalem” sampai “Kowe”.

“Sekadar untuk menyampaikan pendapat saja kepada “Sampeyan Dalem”, orang Jawa yang menduduki strata “kowe” harus melewati tujuh lapis. Kapan rakyat kecil bisa memiliki kedudukan yang egaliter?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

Ya, ya, ya, begitulah sisi lain yang tampak jelas tercermin di balik sosoknya yang bersahaja. Kang Tohari bisa demikian marah dan geram ketika menyaksikan wong cilik diperlakukan secara tidak adil. Dia tak hanya sekadar beretorika, tetapi benar-benar menyatu dan meleburkan hidupnya di tengah-tengah kehidupan wong cilik. Tak heran kalau dia tetap merasa betah dan nyaman hidup di desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, yang jauh dari ingar-bingar dan dinamika masyarakat urban.

Dalam menggelar perhelatan pernikahan putri bungsunya, dokter Din Alfina binti Ahmad Tohari dan Wiwid Ardhianto SE pun, sejak Jumat hingga Minggu (21/6), Kang Tohari sengaja mengambil tema “Kembali ke Kampung” yang menggambarkan “pemberontakan kultural” terhadap menguatnya akar feodalisme dan kapitalisme itu.

Sebagaimana dilaporkan Suara Merdeka, Kang Tohari sengaja membuat setting perhelatan pernikahan dalam nuansa kampung orang gaplek. Tamu yang hadir silih berganti mengaku gumun memasuki halaman belakang rumah yang menjadi panggung utama dalam pagelaran mantenan itu. Pelataran belakang rumah yang sekaligus menjadi halaman musala Al Hidayah itu disulap menjadi suatu perkampungan, seperti tergambar dalam novel masterpiece Tohari itu. ”Kiye tah mantene wong gaplek (Ini dia perkawinan orang gaplek),” seru Edhi Romadhon, penggerak Komunitas Gethek.

Tohari lantas menunjukkan sekumpulan ketela pohon yang sudah dikupas dan disebar di atap rumah welit (atap ilalang) yang menjadi tempat pengantin jejer. Singkong yang dibiarkan terkena hujan dan panas selama berbulan-bulan itulah yang disebut gaplek. Di masa paceklik, singkong yang sudah ditumbuhi jamur itu jadi makanan pokok warga. Cermin kemiskinan itu selaras dengan gubuk bambu yang dinaunginya.

Seperti seniman lain saat punya gawe, suami Samsiah yang kerap disapa kiai ini rupanya juga sedang bermain simbol. Selain gaplek, tamu-tamu juga tercengang ketika mantenan ini menampilkan apa-apa yang serba ndesa.

”Suasana ini menjadi akar budaya saya, termasuk orang-orang yang kini sudah keluar dari kemiskinan. Sambil mantenan, sah-sah saja dong saya mengajak mereka untuk mengingat orang yang masih kelaparan, di tengah kebahagiaan kita,” kata Tohari.

Hmmm … Begitulah sisi lain sosok Ahmad Tohari yang tidak hanya gencar menyuarakan nasib wong cilik yang terpinggir dan dipinggirkan ke dalam teks sastra, tetapi juga menyelaraskan dan menyatukan “darah kehidupan”-nya di tengah-tengah kehidupan wong cilik yang kesrakat dan bersahaja. Meminjam istilah Bakdi Sumanto, Ahmad Tohari bisa dibilang sebagai seorang resi yang “tapa ngrame”, bertapa di tengah keramaian kehidupan rakyat kecil yang sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan modern dan kosmopolit yang sejatinya dengan mudah bisa dia nikmati dalam kemegahan yang sarat dengan sentuhan gebyar duniawi dan godaan nilai-nilai hedonisme.

Putu Wijaya

Sastrawan Serba Bisa


Ia sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga menulis skenario film dan sinetron. Sebagai dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.

Harian Kompas dan Sinar Harapan kerap memuat cerita pendeknya. Novelnya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Memenangkan lomba penulisan fiksi baginya sudah biasa. Sebagai penulis skenario, ia dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.

Namanya I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang biasa disebut Putu Wijaya. Tidak sulit untuk mengenalinya karena topi pet putih selalu bertengger di kepalanya. Kisahnya, pada ngaben ayahnya di Bali, kepalanya digundul. Kembali ke Jakarta, selang beberapa lama, rambutnya tumbuh tapi tidak sempurna, malah mendekati botak. Karena itu, ia selalu memakai topi. "Dengan ini saya terlihat lebih gagah," tutur Putu sambil bercanda.

Putu yang dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali pada tanggal 11 April 1944, bukan dari keluarga seniman. Ia bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.

Semasa di SD, ''Saya doyan sekali membaca,'' tuturnya, ''Mulai dari karangan Karl May, buku sastra Komedi Manusia-nya William Saroyan, sampai cerita picisan yang merangsang berahi. Sejak kecil, saya juga senang sekali seni pertunjukan. Mungkin sudah merupakan bakat, senang pada seni laku," ujarnya mengenang.

Meskipun demikian, ia tak pernah diikutkan main drama semasih kanak-kanak, juga ketika SMP. Baru setelah menang lomba deklamasi, ia diikutkan main drama perpisahan SMA, yang diarahkan oleh Kirdjomuljo, penyair dan sutradara ternama di Yogyakarta. Ia pertama kali berperan dalam Badak, karya Anton Chekov. "Sejak itu saya senang sekali pada drama," kenang Putu.

Setelah selesai sekolah menengah atas, ia melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta, kota seni dan budaya. Di Yogyakarta, selain kuliah di Fakultas Hukum, UGM, ia juga mempelajari seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), drama di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), dan meningkatkan kegiatannya bersastra. Dari Fakultas Hukum, UGM, ia meraih gelar sarjana hukum (1969), dari Asdrafi ia gagal dalam penulisan skripsi, dan dari kegiatan berkesenian ia mendapatkan identitasnya sebagai seniman.

Selama bermukim di Yogyakarta, kegiatan sastranya lebih terfokus pada teater. Ia pernah tampil bersama Bengkel Teater pimpinan W.S. Rendra dalam beberapa pementasan, antara lain dalam pementasan Bip-Bop (1968) dan Menunggu Godot (1969). Ia juga pernah tampil bersama kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, ia juga (telah berani) tampil dalam karyanya sendiri yang berjudul Lautan Bernyanyi (1969). Ia adalah penulis naskah sekaligus sutradara pementasan itu. Naskah dramanya itu menjadi pemenang ketiga Sayembara Penulisan Lakon yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Teater Nasional Indonesia.

Setelah kira-kira tujuh tahun tinggal di Yogyakarta, Putu pindah ke Jakarta. Di Jakarta ia bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara ternama Arifin C. Noer dan Teater Populer. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai redaktur majalah Ekspres (1969). Setelah majalah itu mati, ia menjadi redaktur majalah Tempo (1971-1979). Bersama rekan-rekannya di majalah Tempo, Putu mendirikan Teater Mandiri (1974). "Saya perlu bekerja jadi wartawan untuk menghidupi keluarga saya. Juga karena saya tidak mau kepengarangan saya terganggu oleh kebutuhan mencari makan," tutur Putu.

Pada saat masih bekerja di majalah Tempo, ia mendapat beasiswa belajar drama (Kabuki) di Jepang (1973) selama satu tahun. Namun, karena tidak kerasan dengan lingkungannya, ia belajar hanya sepuluh bulan. Setelah itu, ia kembali aktif di majalah Tempo. Pada tahun 1974, ia mengikuti International Writing Program di Iowa, Amerika Serikat. Sebelum pulang ke Indonesia, mampir di Prancis, ikut main di Festival Nancy.

Putu mengaku belajar banyak dari Tempo dan Goenawan Mohamad. "Yang melekat di kepala saya adalah bagaimana menulis sesuatu yang sulit menjadi mudah. Menulis dengan gaya orang bodoh, sehingga yang mengerti bukan hanya menteri, tapi juga tukang becak. Itulah gaya Tempo," ungkap Putu. Ia juga membiasakan diri dengan tenggat - suatu siksaan bagi kebanyakan pengarang. Dari Tempo, Putu pindah ke majalah Zaman (1979-1985), dan ia tetap produktif menulis cerita pendek, novel, lakon, dan mementaskannya lewat Teater Mandiri, yang dipimpinnya. Di samping itu, ia mengajar pula di Akademi Teater, Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Ia mempunyai pengalaman bermain drama di luar negeri, antara lain dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, Prancis (1974) dan dalam Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Ia juga membawa Teater Mandiri berkeliling Amerika dalam pementasan drama Yel dan berpentas di Jepang (2001).

Karena kegiatan sastranya lebih menonjol pada bidang teater, Putu Wijaya pun lebih dikenal sebagai dramawan. Sebenarnya, selain berteater ia juga menulis cerpen dan novel dalam jumlah yang cukup banyak, di samping menulis esai tentang sastra. Sejumlah karyanya, baik drama, cerpen, maupun novel telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, Jepang, Arab, dan Thailand.

Gaya Putu menulis novel tidak berbeda jauh dengan gayanya menulis drama. Seperti dalam karya dramanya, dalam novelnya pun ia cenderung mempergunakan gaya objektif dalam pusat pengisahan dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya - penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif bahasanya. Ia lebih mementingkan perenungan ketimbang riwayat.

Adapun konsep teaternya adalah teror mental. Baginya, teror adalah pembelotan, pengkhianatan, kriminalitas, tindakan subversif terhadap logika - tapi nyata. Teror tidak harus keras, kuat, dahsyat, menyeramkan; bahkan bisa berbisik, mungkin juga sama sekali tidak berwarna.

Ia menegaskan, ''teater bukan sekadar bagian dari kesusastraan, melainkan suatu tontonan.'' Naskah sandiwaranya tidak dilengkapi petunjuk bagaimana harus dipentaskan. Agaknya, memberi kebebasan bagi sutradara lain menafsirkan. Bila menyinggung problem sosial, karyanya tanpa protes, tidak mengejek, juga tanpa memihak. Tiap adegan berjalan tangkas, kadang meletup, diseling humor.Mungkin ini cerminan pribadinya. Individualitasnya kuat, dan berdisiplin tinggi.

Saat ditanya pemikiran pengarang yang sehari bisa mengarang cerita 30 halaman, menulis empat artikel dalam satu hari ini tentang tulis menulis, Putu menjawab, ''Menulis adalah menggorok leher tanpa menyakiti,'' katanya, ''bahkan kalau bisa tanpa diketahui.'' Kesenian diibaratkannya seperti baskom, penampung darah siapa saja atau apa pun yang digorok: situasi, problematik, lingkungan, misteri, dan berbagai makna yang berserak. ''Kesenian,'' katanya, ''merupakan salah satu alat untuk mencurahkan makna, agar bisa ditumpahkan kepada manusia lain secara tuntas.''

"Saya sangat percaya pada insting," kata Putu tentang caranya menulis. "Ketika menulis, saya tidak mempunyai bahan apa-apa. Semua datang begitu saja ketika di depan komputer," katanya lagi. Ia percaya bahwa ada satu galaksi dalam otak yang tidak kita mengerti cara kerjanya. Tapi, menurut Putu, itu bukan peristiwa mistik, apalagi tindak kesurupan.

Selain menekuni dunia teater dan menulis, Putu juga menjadi sutradara film dan sinetron serta menulis skenario sinetron. Film yang disutradarainya ialah film Cas Cis Cus, Zig Zag, dan Plong. Sinetron yang disutradarainya ialah Dukun Palsu, PAS, None, Warteg, dan Jari-Jari. Skenario yang ditulisnya ialah Perawan Desa, Kembang Kertas, serta Ramadhan dan Ramona. Ketiga skenario itu memenangkan Piala Citra.

Pada 1977, ia menikah dengan Renny Retno Yooscarini alias Renny Djajusman yang dikaruniai seorang anak, Yuka Mandiri. ''Sebelum menikah saya menulis Sah, ee, saya mengalami persis seperti yang saya tulis,'' ujarnya. ''Pernikahan saya bubar pada 1984.'' Tetapi ia tidak lama menduda. Pertengahan 1985, ia menikahi gadis Sunda, Dewi Pramunawati, karyawati majalah Medika. Bersama Dewi, Putu Wijaya selanjutnya hidup di Amerika Serikat selama setahun.

Atas undangan Fulbright, 1985-1988, ia menjadi dosen tamu teater dan sastra Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS. Atas undangan Japan Foundation, Putu menulis novel di Kyoto, Jepang, 1992. Setelah lama berikhtiar - walau dokter di Amerika mendiagnosis Putu tak bakal punya anak lagi - pada 1996, pasangan ini dikaruniai seorang anak, Taksu.

Rumah tangga baginya sebuah "perusahaan". Apa pun diputuskan berdasarkan pertimbangan istri dan anak, termasuk soal pekerjaan. Soal pendidikan anak, "Saya tidak punya cara," ujar Putu. Anak dianggap sebagai teman, kadang diajak berunding, kadang dimarahi. Dan, kata Putu, "Saya tidak mengharapkan ia menjadi apa, saya hanya memberikan kesempatan saja."

Kini, penggemar musik dangdut, rock, klasik karya Bach atau Vivaldi dan jazz ini total hanya menulis, menyutradarai film dan sinetron, serta berteater. Dalam bekerja ia selalu diiringi musik. Olahraganya senam tenaga prana Satria Nusantara. "Sekarang saya sudah sampai pada tahap bahwa kesenian merupakan upaya dan tempat berekspresi sekaligus pekerjaan," ujar Putu. ►ti/atur


Nama :
Seno Gumira Ajidarma

Lahir :
Boston, Amerika Serikat,

19 Juni 1958

Pendidikan :

IKJ jurusan Sinematografi (1980-1994),
Pascasarjana Filsafat Universitas Indonesia

Karir :
Wartawan,
Fotografer,
Penulis,
Pemred Majalah

Jakarta-Jakarta,
Dosen Institut Kesenian Jakarta

Penghargaan :

Cerpen Pelajaran Mengarang terpilih menjadi Cerpen Terbaik Kompas 1993,
SEA Write Award (1997),

Cerpen Saksi Mata Mendapat Dinny OHearn Prize for Literary (1997),

Cerpen Cinta Di atas Perahu Cadik terpilih menjadi cerpen terbaik Kompas 2007

Karya Sastra :

Saksi Mata (1987),

Pelajaran Mengarang (1993),

Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994),

Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996),

Iblis Tidak Pernah Mati (1999)

Sastrawan


Seno Gumira Ajidarma

Sastrawan yang satu ini adalah sosok pembangkang. Ayahnya, Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak jelek-jelek amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,”ujar Seno.

Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus yang terjadi di sekolahnya. Waktu sekolah dasar, ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor, sampai ia dipanggil guru. Waktu SMP, ia memberontak tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong. Aku pernah diskors karena membolos,”kenang Seno. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman.

Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, Seno pulang dan meneruskan sekolah. Ketika SMA, ia sengaja memilih SMA yang boleh tidak pakai seragam. Jadi aku bisa pakai celana jins, rambut gondrong,Komunitas yang dipilih sesuai dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen Bulaksumur (UGM), rumah orangtuanya. Tapi, komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan ngebut di Malioboro. Aku suka itu karena liar, bebas, tidak ada aturan.Walau tak mengerti tentang drama, dua tahun Seno ikut teater Alam pimpinan Azwar A.N. Lalu aku lihat Rendra yang gondrong, kerap tidak pakai baju, tapi istrinya cantik (Sitoresmi). Itu kayaknya dunia yang menyenangkan,”kata Seno.

Tertarik puisi-puisi Mbeling-nya Remy Sylado di majalah Aktuil Bandung, Seno pun mengirimkan puisi-puisinya dan dimuat. Honornya besar. Semua pada ngenyek Seno sebagai penyair kontemporer. Tapi ia tidak peduli. Seno tertantang untuk mengirim puisinya ke majalah sastra Horison dan tembus juga. Umurku baru 17 tahun, puisiku sudah masuk Horison. Sejak itu aku merasa sudah jadi penyair,”kata Seno bangga. Kemudian Seno menulis cerpen dan esai tentang teater. Jadi wartawan, awalnya karena kawin muda pada usia 19 tahun dan untuk itu ia butuh uang. Tahun itu juga Seno masuk Institut Kesenian Jakarta, jurusan sinematografi. Nah, dari situ aku mulai belajar motret,”ujar pengagum pengarang R.A. Kosasih ini. Kalau sekarang ia jadi sastrawan, sebetulnya bukan itu mulanya.

Seniman yang dia lihat tadinya bukan karya, tetapi Rendra yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, rambut boleh gondrong. Tapi, kemudian karena seniman itu harus punya karya maka aku buat karya,”ujar Seno disusul tawa terkekeh. Sampai saat ini Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Cerpennya Pelajaran Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain: Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius (1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999). Karya lain berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000).

Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno memperoleh Dinny O’’Hearn Prize for Literary, 1997. Kesibukan Seno sekarang adalah membaca, menulis, memotret, jalan-jalan, selain bekerja di Pusat Dokumentasi Jakarta-Jakarta. Juga kini ia membuat komik. Baru saja ia membuat teater. Pengalamannya yang menjadi anekdot yakni ketika dia naik taksi, sopir taksinya mengantuk, maka ia yang menggantikan menyopir, si sopir disuruhnya tidur.

(Berbagai Sumber)

Cari Blog Ini